Secara etimologi dilalah berarti petunjuk atau
dalil. Sedangkan secara terminologi adalah memahami sesuatu dari sesuatu.[1]
Sesuatu yang pertama disebut dengan madlul (المدلول). Dalam hubungannya dengan masalah hukum, yang disebut madlul
adalah hukum itu sendiri, yakni fardhu, sunah, mubah, makruh
dan haram. Sedangkan kedua disebut dal (الدال). Dalam kaitannya dengan hukum, yang dimaksud dengan dal adalah dalil
hukum.
Pembahasan ini untuk membantu memahami suatu hukum yang
didapat dari sebuah kalimat. Jika diterapkan dalam al-Quran maka kita dapat
memahami maksud dari suatu ayat dengan meneliti petunjuk-petunjuk yang terdapat
dalam suatu ayat. Dalam pembahasan ini hanya disebutkan kaidah-kaidah umum yang
megantarkan kita untuk memahami suatu ayat, untuk selanjutnya kita harus mengetahui
pembahasan bab selanjutnya yang membahas cara memahami kata perkata dalam
al-Quran.
Pembagian: Dzanniy dan Qath’i
Seluruh teks al-Quran bersifat qath’i dilihat dari
segi sampainya kepada kita dari Rasulullah. Maksudnya dengan pasti tanpa keraguan
bahwa teks (nash) al-Quran yang sampai kepada kita adalah teks al-Quran
yang diterima oleh Rasulullah dan yang beliau sampaikan kepada umatnya tanpa
ada perubahan sedikit pun.
Dalam ilmu hadits, kita mengenal istilah mutawatir.
Mutawatir adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh sekelompok orang banyak
yang mustahil secara logika mereka bersepakat untuk berbohong. Al-Quran sampai
kepada kita secara mutawatir. Oleh karena itu, dilalah dari teks
al-Quran adalah qath’i.
Adapun jika telah masuk kepada kandungannya, dilalah
al-Quran terbagi menjadi dua, yakni teks yang dilalah-nya qath’i
terhadap suatu hukum dan teks yang dilalah-nya dzanni terhadap
suatu hukum.
Nash atau teks yang qath’i adalah teks atau ayat yang
menunjukkan makna tertentu yang dipahami dari teks tersebut dan tidak
mengandung takwil-an lain serta tidak ada ruang untuk dipahami
makna selain itu. Contohnya seperti;
Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa pasangan (suami) apabila istrinya meninggal maka ia mendapatkan bagian
setengah. Dilalah yang terdapat pada ayat tersebut adalah qath’i
karena tidak mungkin ada takwil-an lain mengenai ayat tersebut.
Begitu juga dengan semua ayat yang menerangkan tentang waris, had dalam hukuman
tertentu, dan nishab yang dibatasi.
Adapun nash dzanni
adalah teks atau ayat yang menunjukkan kepada suatu makna yang masih mungkin
dapat ditakwil dan dipalingkan dari makna tersebut. Contohnya ayat tentang
iddah. Dalam ayat tersebut terdapat kata قَرءٌ yang mempunyai dua makna, yakni suci (الطُّهرُ) dan haid (الحَيضُ). Untuk
selanjutnya, kata tersebut termasuk kata yang mujmal --dan insyaallah
akan dibahas pada babnya--. Oleh karena itu, ayat tersebut dilalah-nya dzanni.
Nash yang termasuk dzanni dilalah adalah setiap nash
yang terdapat kata musytarak (memiliki makna lebih dari satu, seperti
contoh di atas), lafadz ‘aam, lafadz muthlaq, dan semacamnya
karena kata-kata tersebut menunjukkan kepada lebih dari satu makna.
Pembagian: I’barah, Isyarah, Dalalah, Iqtidha
Pembagian dilalah ini berdasarkan kepada cara
memahami nash. Ada empat cara untuk memahami suatu nash, yakni ‘ibarah
an-nash, isyarah an-nash, dalalah an-nash, iqtidha an-nash.
-
Ibarah an-Nash
Yang dimaksud dengan ibarah an-nash adalah bentuk
katanya yang terbentuk dari satuan kata dan kalimatnya. Pemahaman yang termasuk
ibarah nash adalah pemahaman yang langsung didapatkan ketika mendengar
atau melihat suatu teks dan pemahaman itulah yang dimaksud dengan konteks
kalimat tersebut.[3]
Bisa dikatakan ibarah nash ini dengan makna dzahir atau tersurat.
Contoh dari ibarah sangat banyak, karena setiap teks
undang-undang pasti dibuat untuk suatu hukum, begitu juga dengan ayat-ayat
hukum dalam al-quran. Kita ambil contoh An-Nisa:3;
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا
تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Ayat ini dikaji dengan cara ibarah nash bermakna,
bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang bila terpenuhi syarat adil.
Lafadz ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan hal tersebut.
-
Isyarah an-nash
Yang dimaksud dengan isyarah nash adalah makna
yang dipahami dari kelaziman lafadz dan bukan yang dimaksud dari konteks
kalimat. Bisa dikatakan isyarah nash ini adalah makna tersirat. Oleh karena
itu, untuk memahami suatu teks dengan cara ini dibutuhkan energi lebih untuk
berpikir berbeda dengan ibarah yang cukup dengan memahami yang tersurat saja.
Contohnya adalah Q.S Al-Lahab:4;
وَٱمۡرَأَتُهُۥ
حَمَّالَةَ ٱلۡحَطَبِ ٤
Jika dikaji secara ibarah nash, kita akan mendapatkan
makna bahwa istri Abu Lahab adalah pembawa kayu bakar. Sedangkan jika dikaji
secara isyarah nash, kita akan menemukan bahwa pernikahan orang yang non-muslim
adalah sah dan tidak perlu melakukan akad kembali ketika mereka masuk islam.
-
Dilalah nash
Yang dimaksud dengan dilalah nash adalah makna yang
dipahami dari ruh teks dan logika teks. Dalam memahami suatu teks dengan cara
ini, kita diperlukan mengetahui hukum dan alasan yang terdapat dalam teks
tersebut. Kemudian kita mengqiyaskannya kepada suatu kejadian yang sama
alasannya (musawat) atau bahkan lebih tepat (aulawiyyah). Dapat
dikatakan dilalah nash ini dengan mafhum muwafaqah. Jika alasannya
lebih tepat maka disebut dengan fahwal khitab. Dan jika alasannya
sama dengan asalnya maka disebut lahnul khitab.
Contohnya mengenai jangan berkata “ah” kepada orang tua
dalam Al-Isra:23;
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ
أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Jika dipahami
dengan cara ibarah nash, kita memahami bahwa tidak boleh mengatakan “ah” kepada
orang tua. Sedangkan jika kita teliti mengapa hal tersebut tidak dibolehkan
maka kita akan menemukan asalannya. Asalah tidak bolehnya berkata “ah” kepada
orang tua adalah karena hal tersebut dapat menyakiti hati mereka. Maka dari
itu, berkata “ah” saja tidak boleh apalagi memukul mereka.
-
Iqtidha an-nash
Yang dimaksud dengan iqtidha nash adalah makna yang dipahami
dengan cara memperkirakan suatu kata yang sesuai dengan konteksnya. Contoh
sehari-harinya seperti perkataan seorang guru kepada muridnya, “saya mewajibkan
tugas kepada kalian”. Maksud dari mewajibkan tugas di sana adalah mewajibkan
untuk mengerjakan tugas. Tanpa kata mengerjakan maknanya akan ambigu, apakah
tugas tersebut dimakan, diabaikan, atau dikerjakan. Jika dilihat konteksnya
tidak mungkin seorang guru berkata seperti itu apabila menyuruh untuk
mengabaikan tugas. Oleh karena itu, pasti kata yang tersimpan dari perkataan
tersebut adalah mengerjakan.
Contoh dalam al-Quran seperti pada Al-Maidah:3;
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ
بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ
وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ
وَأَن تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَٰمِۚ ذَٰلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ...٣
Kata yang tersimpan dari ayat tersebut adalah memakan
bukan menikahi atau memegangnya. Ayat tersebut konteksnya sedang menjelaskan
makanan-makanan yang diharamkan, maka yang paling tepat adalah menampakkan kata
memakan.
0 komentar :
Posting Komentar