Home » » Dilalatul Quran

Dilalatul Quran

Written By Unknown on Sabtu, 08 April 2017 | 07.12

            Definisi

Secara etimologi dilalah berarti petunjuk atau dalil. Sedangkan secara terminologi adalah memahami sesuatu dari sesuatu.[1] Sesuatu yang pertama disebut dengan madlul (المدلول). Dalam hubungannya dengan masalah hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri, yakni fardhu, sunah, mubah, makruh dan haram. Sedangkan kedua disebut dal (الدال). Dalam kaitannya dengan hukum, yang dimaksud dengan dal adalah dalil hukum.
Pembahasan ini untuk membantu memahami suatu hukum yang didapat dari sebuah kalimat. Jika diterapkan dalam al-Quran maka kita dapat memahami maksud dari suatu ayat dengan meneliti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam suatu ayat. Dalam pembahasan ini hanya disebutkan kaidah-kaidah umum yang megantarkan kita untuk memahami suatu ayat, untuk selanjutnya kita harus mengetahui pembahasan bab selanjutnya yang membahas cara memahami kata perkata dalam al-Quran.

Pembagian: Dzanniy dan Qath’i

Seluruh teks al-Quran bersifat qath’i dilihat dari segi sampainya kepada kita dari Rasulullah. Maksudnya dengan pasti tanpa keraguan bahwa teks (nash) al-Quran yang sampai kepada kita adalah teks al-Quran yang diterima oleh Rasulullah dan yang beliau sampaikan kepada umatnya tanpa ada perubahan sedikit pun.
Dalam ilmu hadits, kita mengenal istilah mutawatir. Mutawatir adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh sekelompok orang banyak yang mustahil secara logika mereka bersepakat untuk berbohong. Al-Quran sampai kepada kita secara mutawatir. Oleh karena itu, dilalah dari teks al-Quran adalah qath’i.
Adapun jika telah masuk kepada kandungannya, dilalah al-Quran terbagi menjadi dua, yakni teks yang dilalah-nya qath’i terhadap suatu hukum dan teks yang dilalah-nya dzanni terhadap suatu hukum.
Nash atau teks yang qath’i adalah teks atau ayat yang menunjukkan makna tertentu yang dipahami dari teks tersebut dan tidak mengandung takwil-an lain serta tidak ada ruang untuk dipahami makna selain itu.  Contohnya seperti;
 وَلَكُم نِصفُ مَا تَرَكَ أَزوَاجُكُم إِن لَم يَكُن لَهُنَّ وَلَدٌ[2]
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pasangan (suami) apabila istrinya meninggal maka ia mendapatkan bagian setengah. Dilalah yang terdapat pada ayat tersebut adalah qath’i karena tidak mungkin ada takwil-an lain mengenai ayat tersebut. Begitu juga dengan semua ayat yang menerangkan tentang waris, had dalam hukuman tertentu, dan nishab yang dibatasi.
Adapun nash dzanni adalah teks atau ayat yang menunjukkan kepada suatu makna yang masih mungkin dapat ditakwil dan dipalingkan dari makna tersebut. Contohnya ayat tentang iddah. Dalam ayat tersebut terdapat kata قَرءٌ yang mempunyai dua makna, yakni suci (الطُّهرُ) dan haid (الحَيضُ). Untuk selanjutnya, kata tersebut termasuk kata yang mujmal --dan insyaallah akan dibahas pada babnya--. Oleh karena itu, ayat tersebut dilalah-nya dzanni. Nash yang termasuk dzanni dilalah adalah setiap nash yang terdapat kata musytarak (memiliki makna lebih dari satu, seperti contoh di atas), lafadz ‘aam, lafadz muthlaq, dan semacamnya karena kata-kata tersebut menunjukkan kepada lebih dari satu makna.

Pembagian: I’barah, Isyarah, Dalalah, Iqtidha

Pembagian dilalah ini berdasarkan kepada cara memahami nash. Ada empat cara untuk memahami suatu nash, yakni ‘ibarah an-nash, isyarah an-nash, dalalah an-nash, iqtidha an-nash.
-          Ibarah an-Nash
Yang dimaksud dengan ibarah an-nash adalah bentuk katanya yang terbentuk dari satuan kata dan kalimatnya. Pemahaman yang termasuk ibarah nash adalah pemahaman yang langsung didapatkan ketika mendengar atau melihat suatu teks dan pemahaman itulah yang dimaksud dengan konteks kalimat tersebut.[3] Bisa dikatakan ibarah nash ini dengan makna dzahir atau tersurat.
Contoh dari ibarah sangat banyak, karena setiap teks undang-undang pasti dibuat untuk suatu hukum, begitu juga dengan ayat-ayat hukum dalam al-quran. Kita ambil contoh An-Nisa:3;
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Ayat ini dikaji dengan cara ibarah nash bermakna, bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang bila terpenuhi syarat adil. Lafadz ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan hal tersebut.
-          Isyarah an-nash
Yang dimaksud dengan isyarah nash adalah makna yang dipahami dari kelaziman lafadz dan bukan yang dimaksud dari konteks kalimat. Bisa dikatakan isyarah nash ini adalah makna tersirat. Oleh karena itu, untuk memahami suatu teks dengan cara ini dibutuhkan energi lebih untuk berpikir berbeda dengan ibarah yang cukup dengan memahami yang tersurat saja.
Contohnya adalah Q.S Al-Lahab:4;
  وَٱمۡرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلۡحَطَبِ ٤
Jika dikaji secara ibarah nash, kita akan mendapatkan makna bahwa istri Abu Lahab adalah pembawa kayu bakar. Sedangkan jika dikaji secara isyarah nash, kita akan menemukan bahwa pernikahan orang yang non-muslim adalah sah dan tidak perlu melakukan akad kembali ketika mereka masuk islam.
-          Dilalah nash
Yang dimaksud dengan dilalah nash adalah makna yang dipahami dari ruh teks dan logika teks. Dalam memahami suatu teks dengan cara ini, kita diperlukan mengetahui hukum dan alasan yang terdapat dalam teks tersebut. Kemudian kita mengqiyaskannya kepada suatu kejadian yang sama alasannya (musawat) atau bahkan lebih tepat (aulawiyyah). Dapat dikatakan dilalah nash ini dengan mafhum muwafaqah. Jika alasannya lebih tepat maka disebut dengan fahwal khitab. Dan jika alasannya sama dengan asalnya maka disebut lahnul khitab.
Contohnya mengenai jangan berkata “ah” kepada orang tua dalam Al-Isra:23;
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Jika dipahami dengan cara ibarah nash, kita memahami bahwa tidak boleh mengatakan “ah” kepada orang tua. Sedangkan jika kita teliti mengapa hal tersebut tidak dibolehkan maka kita akan menemukan asalannya. Asalah tidak bolehnya berkata “ah” kepada orang tua adalah karena hal tersebut dapat menyakiti hati mereka. Maka dari itu, berkata “ah” saja tidak boleh apalagi memukul mereka.
-          Iqtidha  an-nash
Yang dimaksud dengan iqtidha nash adalah makna yang dipahami dengan cara memperkirakan suatu kata yang sesuai dengan konteksnya. Contoh sehari-harinya seperti perkataan seorang guru kepada muridnya, “saya mewajibkan tugas kepada kalian”. Maksud dari mewajibkan tugas di sana adalah mewajibkan untuk mengerjakan tugas. Tanpa kata mengerjakan maknanya akan ambigu, apakah tugas tersebut dimakan, diabaikan, atau dikerjakan. Jika dilihat konteksnya tidak mungkin seorang guru berkata seperti itu apabila menyuruh untuk mengabaikan tugas. Oleh karena itu, pasti kata yang tersimpan dari perkataan tersebut adalah mengerjakan.
Contoh dalam al-Quran seperti pada Al-Maidah:3;
 حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَٰمِۚ ذَٰلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ...٣
Kata yang tersimpan dari ayat tersebut adalah memakan bukan menikahi atau memegangnya. Ayat tersebut konteksnya sedang menjelaskan makanan-makanan yang diharamkan, maka yang paling tepat adalah menampakkan kata memakan.






[1] Ibrahim al-Bajuri, hasyiyah al-bajuri ‘ala matni as-sullam, al-haramain, hal. 32
[2] Q.S An-Nisa:12
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ushul fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, hal. 144


#dilalah #ulumulquran #manthuq #fkmthi 

0 komentar :

Posting Komentar